Bagaimana AI yang Meniru Gaya Seniman Mempengaruhi Isu Hukum dan Etika?

Mengupas tuntas dampak hukum dan etika dari AI peniru gaya seniman, beserta solusi dan perlindungan bagi kreator di era digital modern.

Margabagus.com – Revolusi teknologi AI peniru gaya seni telah mengubah landskap kreatif secara dramatis dalam beberapa tahun terakhir. Bayangkan sebuah dunia di mana algoritma dapat menciptakan karya yang nyaris tidak dapat dibedakan dari lukisan Van Gogh atau komposisi musik yang terdengar seperti Mozart. Ini bukan lagi fiksi ilmiah, ini adalah realitas kita sekarang. Menurut laporan State of AI Report 2024, lebih dari 65% industri kreatif global telah terpengaruh oleh kemunculan model AI seni generatif, dengan valuasi pasar mencapai $45 miliar. Namun, di balik kemajuan teknologi yang memukau ini tersembunyi labirin kompleks persoalan hukum dan etika yang mendesak untuk dibahas secara serius. Apakah kreasi AI benar-benar “original”? Siapa pemilik sah dari karya yang diciptakan AI yang telah dilatih menggunakan ribuan karya seniman manusia? Mari kita urai benang kusut ini bersama-sama.

Evolusi AI dalam Dunia Seni: Dari Alat Bantu hingga Kreator

manusia sedang membuat karya digital dengan AI

Ilustrasi menggunakan MIcrosoft Copilot

Perjalanan AI di dunia seni dimulai sebagai alat bantu sederhana. Pada 2015, DeepDream dari Google menjadi salah satu sistem AI pertama yang mendapat perhatian luas untuk kemampuannya menghasilkan gambar psikedelik berbasis algoritma konvolusi neural network. Namun, ini hanyalah permulaan.

Lompatan besar terjadi pada 2018 ketika kolektif seni Obvious menjual karya “Portrait of Edmond de Belamy” yang dihasilkan oleh GAN (Generative Adversarial Network) di rumah lelang Christie’s seharga $432,500. Peristiwa ini menjadi titik balik yang memaksa dunia seni mengakui kehadiran AI sebagai entitas kreatif.

Profesor Ahmed Elgammal, direktur Art and Artificial Intelligence Laboratory di Rutgers University, menjelaskan: “Model-model seperti DALL-E, Midjourney, dan Stable Diffusion telah mengubah paradigma kreasi, karena mereka tidak lagi sekadar meniru, tetapi mampu ‘memahami’ dan mereproduksi gaya visual dengan tingkat kecanggihan yang mengejutkan.”

Perkembangan terbaru menunjukkan kemampuan yang semakin menakjubkan. Pada Januari 2023, model AI seperti Stable Diffusion XL dan DALL-E 3 telah mencapai kemampuan untuk:

  1. Menganalisis gaya spesifik seniman dengan tingkat presisi tinggi
  2. Mereproduksi teknik visual yang kompleks seperti brushstroke, tekstur, dan komposisi
  3. Menciptakan karya dalam gaya seniman tertentu berdasarkan deskripsi tekstual sederhana
  4. Menggabungkan beberapa gaya artistik ke dalam karya tunggal yang koheren

Teknologi ini diperkuat oleh kemajuan dalam machine learning dan dataset yang masif. Sebagai contoh, LAION-5B, yang digunakan untuk melatih Stable Diffusion, berisi lebih dari 5 miliar pasangan gambar-teks yang dikumpulkan dari seluruh internet—termasuk jutaan karya seniman profesional.

Dilema Hukum: Ketika AI Belajar dari Karya Berhak Cipta

Tantangan hak cipta karya AI dalam industri kreatif menjadi semakin pelik. Bagaimana kita mendefinisikan originalitas dan kepemilikan dalam konteks kreasi AI? Pertanyaan ini bukan hanya abstraksi filosofis, tapi memiliki implikasi hukum dan ekonomi yang nyata.

Di Amerika Serikat, kantor Hak Cipta AS (U.S. Copyright Office) pada Februari 2023 mengeluarkan panduan yang menyatakan bahwa karya yang dihasilkan sepenuhnya oleh AI tidak dapat memperoleh perlindungan hak cipta. Kasus Thaler v. Perlmutter (2023) menegaskan bahwa hak cipta hanya dapat diberikan kepada “penulis manusia”, mempertegas bahwa kreasi AI tidak memenuhi syarat.

Namun, bagaimana dengan karya yang merupakan hasil kolaborasi manusia-AI? Yoko Miyashita, CEO dari Getty Images, mengungkapkan: “Saat ini kita berada di wilayah abu-abu hukum. Ada perbedaan antara menggunakan AI sebagai alat—seperti pensil digital—dan menggunakan AI yang dilatih dengan data yang dilindungi hak cipta untuk menghasilkan karya serupa.”

Di Eropa, pendekatan regulasi berbeda. Pengadilan Eropa pada kasus “The Next Rembrandt” (2021) mengakui aspek kreativitas manusia dalam pemrograman dan kurasi AI, memberikan perlindungan terbatas pada karya yang dihasilkan dengan intervensi manusia yang signifikan.

Pada tingkat praktis, beberapa kasus legal telah menciptakan preseden penting:

  1. Kasus Sarah Andersen dkk. v. Stability AI (2023) – Gugatan kolektif oleh seniman terhadap pengembang Stable Diffusion atas pelanggaran hak cipta dalam penggunaan karya mereka untuk pelatihan AI tanpa ijin.
  2. Getty Images v. Stability AI (2023) – Gugatan atas dugaan peniruan dan pelanggaran watermark pada jutaan gambar berhak cipta.
  3. Kasus “Raghav Artificial Artist” di India (2024) – Pengadilan Tinggi Delhi memberikan perlindungan terbatas pada karya AI dengan pengakuan kontribusi manusia dalam proses kurasi dan seleksi.

Dr. Pamela Samuelson, pakar hukum kekayaan intelektual dari UC Berkeley, berpendapat: “Kita perlu mempertimbangkan ulang konsep ‘penggunaan wajar’ (fair use) di era AI. Apakah pelatihan model AI menggunakan karya berhak cipta merupakan transformasi yang cukup untuk dikategorikan sebagai fair use, atau ini adalah bentuk apropriasi yang memerlukan kompensasi?”

Masalah ini semakin diperumit dengan dimensi internasional. Perbedaan aturan hak cipta antar negara menciptakan ketidakpastian hukum, terutama karena kreasi digital dapat dengan mudah bergerak melampaui batas-batas geografis.

Masalah Etika Kecerdasan Buatan dalam Seni: Dari Apropriasi hingga Devaluasi

Etika Kecerdasan Buatan dalam Seni

Photo by geralt on Pixabay

Perdebatan etika AI melampaui pertanyaan hukum formal dan menyentuh inti dari nilai-nilai kita sebagai masyarakat. Bagaimana kita menyeimbangkan inovasi teknologi dengan penghargaan terhadap kreativitas manusia?

Isu etika utama meliputi:

1. Apropriasi Kultural dan Artistik

AI tidak hanya belajar teknik artistik, tetapi juga konteks budaya dan sejarah yang melekat pada gaya seni. Profesor Safiya Noble, penulis “Algorithms of Oppression”, mengingatkan: “Ketika AI mengapropriasi gaya seni tertentu, terutama dari komunitas yang termarginalisasi, tanpa pemahaman atau penghargaan terhadap signifikansi kulturalnya, ini dapat menjadi bentuk ekstraksi pengetahuan yang bermasalah.”

Contoh nyata terjadi pada 2022, ketika sebuah model AI menciptakan karya dalam gaya seni Aborigin Australia tanpa mempertimbangkan nilai sakral dan kultural dari simbol-simbol yang digunakan. Komunitas seni Aborigin mengecam hal ini sebagai bentuk kolonialisme digital.

2. Transparansi dan Atribusi

Sebuah karya yang meniru gaya Frida Kahlo atau Jean-Michel Basquiat mungkin mengagumkan secara teknis, tetapi apakah etis jika tidak ada pengakuan atau kompensasi terhadap inspirasi aslinya?

Pada Agustus 2023, platform media sosial besar mulai mengimplementasikan “Content Credentials”—metadata yang menandai konten yang dihasilkan atau dimodifikasi oleh AI. Ini adalah langkah awal untuk transparansi, meskipun masih terbatas dalam efektivitasnya.

3. Dampak Ekonomi pada Seniman

Dampak AI generatif pada seniman kontemporer sangat nyata. Survei yang dilakukan oleh The Artists Rights Society pada 2024 mengungkapkan bahwa 76% seniman profesional melaporkan penurunan permintaan untuk karya ilustrasi komersial setelah adopsi luas AI generatif oleh industri.

Molly Crabapple, seniman dan penulis terkenal, menyatakan: “Bagi banyak seniman, ini bukan sekadar perdebatan abstrak tentang apa itu seni—ini tentang mata pencaharian. AI yang dilatih dengan karya kami kini bersaing langsung dengan kami untuk pekerjaan yang sama.”

Newsletter WhatsApp & Telegram

Dapatkan update artikel via WhatsApp & Telegram

Pilih kanal favorit Anda: WhatsApp untuk notifikasi singkat langsung ke ponsel, Telegram untuk arsip lengkap & DM Bot pilih topik.

Gratis, bisa berhenti kapan saja.

Beberapa inisiatif telah muncul untuk mengatasi dilema ini:

  • Artist Income Protection (AIP) – Sebuah framework yang diusulkan oleh koalisi seniman dan pengembang teknologi untuk memastikan kompensasi bagi seniman yang karyanya digunakan dalam pelatihan AI.
  • Licensing Collective for Visual Arts (LCVA) – Sistem yang memungkinkan seniman untuk secara proaktif mengizinkan atau membatasi penggunaan karya mereka dalam dataset pelatihan AI dengan skema pembagian pendapatan.

Namun, masih banyak seniman yang skeptis. Kao Cheng-Kai, ilustrator Taiwan yang karyanya ditemukan dalam dataset LAION tanpa izin, mengungkapkan frustasi: “Mereka mengambil karya saya untuk melatih model yang kemudian akan menggantikan saya. Bagaimana ini bisa dianggap adil?”

Solusi dan Regulasi: Mencari Keseimbangan

solusi dan regulasi AI

Photo by Aymanejed on Pixabay

Merespons kompleksitas ini, berbagai pendekatan regulasi dan solusi teknis sedang dikembangkan:

Pendekatan Regulasi

Beberapa yurisdiksi telah mulai mengembangkan kerangka hukum khusus:

  1. Uni Eropa – AI Act yang disahkan pada Maret 2024 mengklasifikasikan model generatif sebagai “sistem risiko tinggi” yang memerlukan transparansi tentang konten berhak cipta yang digunakan dalam pelatihan.
  2. Jepang – Menerapkan sistem “opt-out” di mana seniman dapat secara eksplisit melarang karya mereka digunakan untuk pelatihan AI.
  3. California, AS – SB 1047 (AI Disclosure Act) yang diusulkan pada Januari 2024 mewajibkan penandaan konten yang dihasilkan AI.

Pada Desember 2023, Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO) menginisiasi dialog global tentang AI dan hak cipta, mengumpulkan pemangku kepentingan dari 193 negara untuk mengembangkan standar internasional.

Solusi Teknis dan Bisnis

Di sisi teknologi dan bisnis, beberapa pendekatan inovatif muncul:

  1. Teknologi Watermarking AI – Perusahaan seperti TrueMark mengembangkan watermark yang tidak terlihat namun terdeteksi secara algoritmik pada gambar yang dihasilkan AI.
  2. Model Opt-in untuk Dataset – Midjourney versi 6.0 (Maret 2024) mulai menerapkan model di mana seniman dapat secara aktif menyetujui penggunaan karya mereka dan mendapat kompensasi melalui sistem bagi hasil.
  3. Creative Commons AI (CCAI) – Ekstensi dari lisensi Creative Commons yang secara spesifik mengatur penggunaan konten untuk pelatihan AI.

Dr. Kate Crawford, peneliti senior di Microsoft Research dan penulis “Atlas of AI”, menekankan pentingnya solusi yang berpusat pada manusia: “Kita perlu merancang sistem AI yang menghormati ekosistem kreativitas, bukan mengeksploitasinya. Ini berarti melibatkan komunitas seniman dalam proses desain dan governance.”

Perspektif Seniman Indonesia di Era AI

Di Indonesia, diskusi tentang AI dan seni sedang berkembang. Eko Nugroho, seniman kontemporer Indonesia yang karyanya telah dipamerkan di seluruh dunia, menyatakan: “Teknologi selalu mengubah cara kita berkarya. Yang penting adalah bagaimana kita mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan dalam proses kreatif.”

Komunitas seni digital Indonesia mulai merespons dengan inisiatif seperti “AI x Kreativitas Nusantara”, sebuah kolaborasi antara seniman tradisional dan pengembang AI untuk menciptakan model yang menghormati warisan budaya Indonesia.

Menurut survei oleh Asosiasi Digital Kreatif Indonesia pada awal 2025, 58% seniman digital Indonesia telah menggunakan AI sebagai bagian dari alur kerja mereka, namun 72% mengkhawatirkan masalah hak cipta dan pengakuan kreativitas.

Masa Depan Kolaborasi Manusia-AI dalam Seni

Kolaborasi Manusia-AI dalam Seni

Photo by Placidplace on Pixabay

Menariknya, hubungan antara seniman dan AI mulai berevolusi dari antagonisme menuju kolaborasi. Artis-AI yang muncul menggunakan teknologi ini sebagai alat untuk memperluas batas-batas kreativitas manusia, bukan menggantikannya.

Helena Sarin, seniman yang mengkhususkan diri dalam kolaborasi manusia-AI, menjelaskan: “Saya melihat AI sebagai mitra kreatif—sesuatu yang dapat membantu saya mengeksplorasi kemungkinan baru yang mungkin tidak pernah saya temukan sendiri.”

Contoh kolaborasi inovatif termasuk:

  1. “The Neural Sketchbook” (2023) – Pameran di MoMA New York yang menampilkan karya kolaboratif di mana seniman manusia dan AI secara iteratif membangun karya bersama.
  2. “Symbiosis” oleh Refik Anadol (2024) – Instalasi data-sculpture yang mengintegrasikan input dari ribuan seniman dengan sistem AI yang terus belajar.
  3. Proyek “Sana AI” (2025) – Platform yang memungkinkan seniman tradisional Indonesia mengdigitalisasi dan memperluas gaya mereka melalui kolaborasi dengan AI sambil mempertahankan kontrol kreatif dan hak ekonomi.

Dr. Sofia Li, futuris teknologi di Institute for the Future, memprediksikan: “Dalam lima tahun ke depan, kita akan melihat munculnya ekosistem kreatif hibrid di mana batas antara kreasi manusia dan AI semakin kabur. Tantangannya adalah memastikan bahwa sistem ini menguatkan kreativitas manusia, bukan menggerusnya.”

Jalan Ke Depan: Etika, Edukasi, dan Pemberdayaan

masa depan AI Etika, Edukasi, dan Pemberdayaan

Photo by CDD20 on Pixabay

Saya percaya bahwa mengatasi tantangan ini memerlukan pendekatan multi-dimensi yang melibatkan semua pemangku kepentingan—seniman, pengembang teknologi, pembuat kebijakan, dan masyarakat luas.

Pertama, kita perlu kerangka etika yang kuat dan terdiferensiasi, yang mengakui berbagai jenis interaksi antara AI dan karya kreatif. Seperti yang diusulkan oleh UNESCO dalam rekomendasi AI etisnya (November 2023), ini harus mencakup prinsip-prinsip transparansi, keadilan, dan penghormatan terhadap keanekaragaman budaya.

Kedua, literasi digital tentang AI perlu diperluas. Baik creator maupun konsumen seni perlu pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana sistem ini bekerja dan implikasinya. Program seperti “AI for Creatives” yang diluncurkan oleh Google Arts & Culture pada 2024 adalah langkah positif dalam arah ini.

Ketiga, model bisnis yang adil perlu dikembangkan. Platform seperti Shutterstock telah mulai menerapkan sistem kompensasi untuk seniman yang karyanya digunakan dalam dataset AI—model seperti ini perlu diperluas dan disempurnakan.

Akhirnya, dialog lintas disiplin harus terus berlanjut. Forum seperti “Art in the Age of AI” yang diselenggarakan di Jakarta pada April 2024 menunjukkan kekuatan diskusi yang menyatukan perspektif teknologi, seni, hukum, dan etika.

Tidak ada solusi sederhana untuk dilema kompleks ini. Namun dengan kesadaran, dialog, dan komitmen terhadap nilai-nilai bersama, Anda dan saya dapat membantu membentuk masa depan di mana AI memperkaya ekspresi kreatif manusia, bukan mengancamnya. Tantangan ini—menyeimbangkan inovasi dengan etika, kemajuan dengan perlindungan—adalah bagian dari narasi yang lebih besar tentang bagaimana kita sebagai masyarakat beradaptasi dan berkembang di era digital. Dalam perjalanan ini, suara seniman, teknolog, pembuat kebijakan, dan warga harus sama-sama didengar. Hanya dengan dialog inklusif dan berkesinambungan kita dapat berharap untuk menyelesaikan teka-teki hukum dan etika yang dibawa oleh revolusi AI dalam seni.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang wajib diisi ditandai dengan *

AJK2FB

Artikel Baru! ×

OFFICES

Surabaya

No. 21/A Dukuh Menanggal
60234 East Java

(+62)89658009251 [email protected]

FOLLOW ME